Batamraya.com – Layar penutup panggung Pemilu 2019 sudah dibuka seiring dengan penetapan resmi partai peserta pemilu dan diikuti prosesi pengambilan nomor urut partai. Ada 14 partai yang akan memperebutkan potensi suara kurang lebih 196,5 juta pemilih di Pemilu 2019.
Dari 14 partai tersebut, 12 partai lama dan 4 partai baru. Partai-partai baru tersebut adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya.
Bagaimana prospek partai-partai tersebut di tengah peluang dan tantangan yang mereka hadapi di Pemilu 2019?
Faktor Pembeda
Partai politik merupakan entitas publik. Oleh karenanya, eksistensi sebuah partai akan sangat dipengaruhi kemampuannya bekerja dan bersama-sama dengan warga yang dalam pemilu akan menjadi pemilihnya. Dalam perspektif akademik partai perlu manajemen kehormatan dirinya di tengah situasi kompetitif yang mereka alami jelang perhelatan kontestasi elektoral.
Meminjam perspektif John van Mannen dan Stephen Barley dalam tulisannya, Cultural Organization: Fragments of a Theory (1985), partai sebagai organisasi harus mengatur manajemen kehormatannya minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu, dan sejarah serta konteks sosial.
Tak semata urusan punya kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan se-Nusantara, melainkan juga harus memahami konteks sosialnya. Indonesia Corruption Watch dan Polling Center pernah merilis hasil survei periode April hingga Mei 2017 dengan 2.235 responden yang tersebar di 34 provinsi. Hasilnya, partai politik menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya publik. Tingkat kepercayaan publik hanya 35%. Ini tentu saja sangat rendah dan menjadi pekerjaan rumah parpol.
Kondisi ini harusnya bisa dimanfaatkan parpol baru untuk tampil dengan sejumlah faktor pembeda dengan partai-partai lama. Parpol baru belum dibebani past-record dalam branding politiknya karena selama ini mereka belum menjadi “penikmat” ragam jenis kekuasaan pascareformasi.
Persepsi negatif diubah menjadi positif dengan menawarkan identitas, nilai, budaya organisasi yang berbeda. Kecuali Partai Berkarya yang justru mempersonifikasi partainya dengan Tommy Soeharto dan romantisme Orde Baru. Artinya Partai Berkarya sedang “berjudi” dengan persepsi khalayak luas, terutama menyangkut kekuatan rujukan (reference power) yang diidentikkan dengan kekuatan politik era Soeharto.
Sepertinya partai ini yakin sekali bahwa peluang mereka terletak pada basis-basis pemilih perdesaan yang rindu zaman Soeharto. Meskipun fakta politik menunjukkan, persuasi berbasis romantisme masa Soeharto ini tak lagi efektif, terbukti dari gagalnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) besutan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut yang merupakan kakak Tommy.
Kedua, jaringan atau interaksi deferensial (differential interaction). Partai baru dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam membangun interaksi dengan pihak lain. Misalnya bagaimana membangun komunikasi persuasif dengan basis-basis pemilih dengan ceruk besar.
Misalnya keberadaan pemilih pemula dan muda, pemilih perempuan, serta penguasaan battlegrounds atau wilayah utama nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 jumlah pemilih pemula sudah mencapai 60 juta orang. Bahkan pemilih pemuda di bawah usia 35 tahun mendekati angka 100 juta orang. Sementara pemilih perempuan potensinya kurang lebih 97,8 juta pemilih.
Wilayah yang menjadi lumbung suara antara lain Jawa Barat dengan kurang lebih 33,1 juta pemilih, Jawa Timur dengan 31,3 juta pemilih, Jawa tengah 27,5 juta pemilih, Sumatera Utara 10,7 juta pemilih, dan DKI Jakarta 7,9 juta pemilih.
PSI sudah melakukan positioning dalam marketing politiknya untuk fokus pada anak-anak muda. Perindo juga kian mempertegas brandingnya dengan fokus pada isu kesejahteraan dengan memperbanyak program yang membantu menggerakkan ekonomi kerakyatan seperti pelaku UMKM. Partai Berkarya mulai fokus menggarap basis perdesaaan dengan pendekatan koperasi di desa-desa.
Yang belum jelas dari aspek interaksi diferensial adalah Partai Garuda. Partai yang dideklarasikan pada tanggal 16 April 2015 dan dipimpin Ahmad Ridha Sabana ini belum terlalu jelas fokusnya ke mana? Di laman resminya, Partai Garuda menyatakan memprioritaskan pemilih muda sebagai target utama, tetapi banyak hal di penampilan, gagasan, dan pendekatan yang digunakan tak identik dengan pasar anak muda yang mau dibidiknya.
Ketiga, pemahaman kolektif. Artinya bagaimana parpol baru mengelola dirinya di tengah ragam kepentingan baik dari internal maupun eksternal. Dalam terminologi Anthony Giddens, penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti parpol diproduksi, direproduksi, dan ditransformasi melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus lebih kuat dibandingkan dengan satu atau dua orang figur sehingga organisasi memiliki daya tahan kuat meski di titik kulminasi kontestasi.
Kritik Thomas Carothers dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi. Saat elite utama pragmatis dalam “mendagangkan” partai jelang perhelatan kontestasi elektoral, partai akan mengalami deinstitusionalisasi. Itulah mengapa parpol baru kerap mengalami perpecahan dan gembos luar biasa setelah perhelatan pemilu usai digelar.
Keempat, tindakan personal. Ini nanti terhubung erat dengan tindakan politisi dari partai baru baik yang menjadi pengurus maupun yang nyaleg di 2019. Jika mereka mau dan mampu menjadi ambassador bagi partai masing-masing dengan ragam tindakan baik dan simpatik, tentu akan membantu perolehan suara partai. Tapi jika sebaliknya tentu akan punya efek bumerang pada partai yang bersangkutan. Oleh karenanya parpol harus ekstra-hati-hati dalam memasang orang-orang yang akan bertandang di Pemilu 2019.