Menjaga Pilkada Dari Serangan Politik SARA

oleh

BATAM (Batamraya.com) – Sampai saat ini tahap-tahap Pilkada 2018 dapat dilalui dengan baik. Penetapan calon gubernur dan bupati/wali kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berlangsung lancar. Walaupun masih ada partai yang berkeberatan, KPU pusat berhasil melewati babak krusial verifikasi dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2019 dengan mulus. Keberhasilan tersebut merupakan modal dan awal yang menentukan kualitas penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

download-3

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang berkeadaban. Menihilkan dan memisahkan aspek SARA dalam pilkada tidaklah mudah, bahkan mungkin mustahil. Memilih adalah persoalan preferensi. Rasionalitas dan objektivitas seseorang dalam menentukan pilihan tetap akan dipengaruhi oleh subjektivitas emosional atas dasar keyakinan agama dan afinitas kelompok. Subjektivitas merupakan sikap manusiawi.

Yang paling mungkin diusahakan adalah meminimalkan atau menurunkan potensi politik SARA. Dalam jangka panjang diperlukan rekayasa sosial untuk mengubah struktur dan budaya komunalisme ke arah masyarakat yang terbuka dan egalitarian. Terkait dengan pilkada, sangat mendesak dilakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih (voters education) agar masyarakat memilih  secara rasional dengan nalar kritis. Partai politik, kekuatan masyarakat sipil, dan media massa perlu bekerja sama membantu masyarakat mengenal, menganalisis, dan menilai program kerja dan rekam jejak para kandidat.

Kedua, memperkuat ikatan kebersamaan dan kewargaan agar masyarakat terbuka dan toleran terhadap perbedaan pilihan. Demokrasi membawa  konsekuensi pluralitas politik. Tidak ada pilihan tunggal dalam berdemokrasi walaupun hanya ada satu calon tunggal. Demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan sikap saling menghormati dan menerima mereka yang berbeda. Perlu adanya kesadaran bersama bahwa pilkada adalah proses politik biasa. Dalam alam demokrasi, pemimpin datang dan pergi, silih berganti.

Ketiga, dalam konteks agama, sudah waktunya dilakukan reinterpretasi teks untuk merumuskan teologi kepemimpinan dan pemerintahan. Diperlukan teologi yang meneguhkan keyakinan bahwa berpolitik adalah bagian dari muamalah, bukan akidah dan ibadah mahdlah . Hal ini penting untuk mengubah dan meluruskan pemahaman bahwa pilkada bukanlah peperangan yang berakibat pada kemenangan atau kekalahan; yang menang mendapatkan rampasan perang (ghanimah atau fai), sementara yang kalah menjadi tawanan.

Yang tidak kalah penting adalah netralitas pemerintah dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Birokrasi harus tegak berdiri di atas aturan dan hukum. KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebagai penyelenggara pemilu harus bekerja tak kenal lelah untuk menjamin tidak ada seorang pun warga negara yang kehilangan hak politiknya serta memastikan tak segelintir pun suara yang sirna. Masalah SARA bisa mengemuka jika salah satu calon diperlakukan tidak adil.

No More Posts Available.

No more pages to load.