Sosiopolitik dan Mitigasi Konflik Pilkada

oleh

Batamraya.com – Tahun 2018 akan menjadi tahun yang sangat penting bagi pematangan demokrasi Indonesia karena akan berlangsung pilkada serentak di 171 daerah. Pada tahun ini juga akan ditetapkan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, hampir rutin ditemui protes atau luapan kekecewaan yang menimbulkan benturan horizontal antar­pihak yang merasa dirugikan dalam kontestasi ini. Jika pihak yang dirugikan secara prosedural menggunakan jalur konstitusi untuk menggugat dugaan kecurangan lawan, tentu konflik bisa dilokalisasi. Namun, jika cara-cara yang digunakan adalah kekerasan, maka ini adalah hal dikhawatirkan banyak pihak sebagai dampak buruk dari proses demokrasi yang sedang dan terus menerus dibangun.

BE757A5E-AAD9-4783-A0A4-9CDF6178A672

Sumber Konflik
Konflik dalam pilkada tidak hanya diakibatkan oleh satu sumber, kebanyakan mempunyai sebab-sebab ganda. Namun pada umumnya, konflik yang nyata terjadi disebabkan oleh aspek prosedural dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Terbukti pada pilkada serentak 2016, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat 31 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah karena kelalaian, penyalahgunaan kewenangan, kesalahan prosedur, atau dianggap tidak netral.

Kombinasi lain dari masalah tersebut antara lain munculnya konflik antar-elite kekuasaan, keterlibatan institusi strategis, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, serta benturan antar­pihak yang kehilangan kontrol politik. Semua ini dapat diidentifikasi sebagai faktor yang sangat kuat penyebab konflik terbuka dalam pilkada.

Namun demikian, dari berbagai pengalaman empirik, konflik-konflik terbuka dalam pilkada juga dipicu oleh kepentingan pragmatis tersembunyi dari setiap kontestan, misalnya ketidaksiapan mereka berkompetisi secara sehat dan ketidaksiapan menerima kekalahan. Oleh karena itu, konflik sering terpusat pada ambisi setiap pihak untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar atau kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan.

Namun perlu dicermati dalam konstelasi sosiopolitik seperti itu bahwa identitas individu dari calon peserta pilkada akan mengental menjadi identitas kelompok, seperti suku, agama, dan etnik. Itu kemudian diartikulasikan menjadi identitas mayoritas lalu dilegitimasi secara sosiopolitik sebagai pihak paling berhak daripada pihak lainnya untuk berkuasa. Ketika setiap kelompok politik merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok lainnya, maka akan terjadi kecenderungan in-group dan out-group (Hoog, 2003) sebagai salah satu sumber utama penyebab konflik. Apalagi dengan dimasukkannya prasangka dan stereotip kepada out-group, maka masing-masing pihak akan melihatnya sebagai pihak berlawanan sehingga pada akhirnya menimbulkan ketegangan yang berujung pada terjadinya konflik.

Faktor lain yang perlu diwaspadai dari penyebab konflik adalah pola-pola emosi dan reaksi-reaksi psikologi aktor elite kekuasaan, baik yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Ini memegang peran penting dan kuat dalam memengaruhi proses dan dinamika terjadinya konflik horizontal. Memang konsentrasi kekuatan secara fisik terorganisasi di komunitas, tapi determinasi gerakan dan mobilisasi kekuatan cenderung tersentral pada elite penguasanya.
Kolaborasi Konflik

Tahun 2018 juga akan menjadi tahun tergerusnya berbagai sektor-sektor strategis, seperti sektor perkebunan besar, pertambangan, dan kehutanan. Bahkan, bobot dan durasi persinggungan antar­korporasi dan elite politik akan semakin intens. Sebab secara relasi antara politik elektoral dan modal dalam sistem politik Indonesia sekarang masih cenderung kolaboratif.
Laporan Walhi 2014 menyebutkan, sumber-sumber logistik yang beredar dalam pilkada dan pemilu legislatif diduga bersumber dari industri ekstraktif melalui konsesi tertentu antar­elite kekuasaan. Ini tak lain karena desakan biaya politik yang sangat mahal.

Pada pilkada tahun ini ada beberapa daerah yang memiliki potensi sumber daya alam besar, di antaranya Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Ini adalah wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Bahkan, di wilayah tersebut hingga saat ini belum terjadi perubahan struktur penguasaan sumber daya alam.

Tidak hanya di daerah ter­sebut, sejumlah daerah lain yang ikut dalam pilkada serentak tahun ini merupakan titik di mana konflik tanah dan sumber daya alamnya juga tidak mengalami penurunan bahkan eskalasinya menunjukkan peningkatan. Tentu hal ini akan berimplikasi progresif karena bersinggungan dengan konflik yang muncul karena dinamika pilkada. Konflik manifes seperti tanah dan sumber daya alam yang sedang berlangsung di wilayah pilkada akan cenderung berkorelasi dan menambah eskalasi konflik politik dalam pilkada.

Pramediasi
Dalam dunia konflik ada asumsi yang berkembang bahwa konflik selalu ada dalam kehidupan manusia, apalagi dalam suatu peristiwa yang di dalamnya berseliweran kepentingan politik. Oleh karena itu, paling penting adalah bagaimana meminimalisasi dan mengelola konflik tersebut agar tidak berkembang menjadi konflik kekerasan yang meluas.

Jika penyelesaian pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilkada sudah tersedia prosedurnya, maka upaya mencegah konflik kekerasan akar rumput di arena pilkada merupakan tindakan strategis yang diperlukan dan merupakan tanggung jawab semua pihak. Mitigasi konflik harus terus dilakukan karena pengalaman selama ini menunjukkan bahwa selalu ada beberapa peristiwa yang menjadi pemicu konflik pilkada, baik yang terorganisasi maupun spontan.

Dibutuhkan pramediasi, yakni suatu upaya di akar rumput untuk membangun kesadaran tentang hak pilih dan hak prosedural. Warga perlu ditempatkan sebagai pihak strategis dalam proses demokrasi melalui mekanisme pelembagaan dialog-dialog dan menempatkan mereka pada posisi sebagai subjek politik dalam pilkada.(M.Rida S)

No More Posts Available.

No more pages to load.