Problem Kejahatan Di Era Demokrasi

oleh

4CPyHTlVSL

Batamraya.com –  Transisi sistem dan dinamika demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu akan tidak jauh mengalami sebuah problematika sosial. Isu atau konteks yang biasanya dijadikan suatu penyebab dari akar tindakan individu maupun kelompok yang sangat sensitif tidak berbeda jauh dengan hadirnya muatan politis. Tetapi, sebelum jauh kita mengetahui lebih substantif mengenai kejahatan apa saja yang khususnya menjadi narasi dilema kehidupan sosial di masyarakat, alangkah baiknya kita mengetahui secara singkat dan lugas mengenai tentang kejahatan.

Kejahatan merupakan sebuah rencana atau rancangan yang dilakukan oleh segelintir individu maupun kelompok dengan memiliki maksud atau tujuan tertentu untuk mengalahkan dengan memakai cara atau strategi yang tidak mematuhi norma sosial, hukum, maupun agama, serta tindakan dengan memiliki power of politics karena satu perspektif atau dogma yang tersaji menjadi fundamental statement dan klasifikasi kontroversi terhadap suatu penilaian objek maupun subjek. Sejatinya merefleksikan kejatahan lebih mudahnya dengan kita memahami ada sebuah niat jahat yang sengaja ingin dilakukan untuk merugikan individu atau kelompok tertentu.

Dimensi aktor yang bergerak secara dinamis untuk menggalang kekuatan menjadi sebuah nilai tersendiri menjadi kekuatan oposisi untuk memenangkan rencana strategis mereka dalam konteks muatan politis seperti menjatuhkan lawan, mengkudeta, memberikan stereotip sosial yang buruk, dan banyak subjek lainnya yang menginterpretasikan prinsip ketidak adilan, kesetaraan, maupun kebebasan ternyata bukan menjadi bibit mereka untuk tetap melakukan sebuah rencana langsung maupun tidak langsung memberikan hukuman dan tindakan subversif kepada lawannya.

Awal dari timbulnya kejahatan tidak keluar dari lingkaran tertentu karena perbedaan prinsip atau ideologis, penyimpangan kekuasaan, kepentingan yang di dominasi aktor tertentu, serta muatan eksistensi identitas aktor yang mengakomodir menyuarakan aspirasi yang selama ini merasa ditindas, dihisap, maupun di kebiri.

Kejahatan juga tidak selalu di identikan dengan persoalan yang negatif atau memiliki stereotip menyimpang dalam pembahasan prosedurnya. Tetapi, jika melihat dari strategi memang langkah yang coba di gagas seakan-akan mereka ingin membuktikkan kembali kekuatan yang dimiliki untuk menggarap atau mengeksploitasi keberadaan orang lain untuk kepentingannya. Memang jika ditilik lebih jauh kita juga harus mengetahui, kejahatan apa yang dimaksud? Apakah kejahatan sosial yang bersifat umum seperti mencuri, mencopet, mendiskriminasi, atau kejahatan lainnya yang menonjolkan lunturnya aktualisasi peranan HAM dalam kehidupan sosial? Atau lebih sensitifnya mengenai tentang lembaga atau institusi yang belum menjalankan peranan atau fungsinya secara maskimal, terjadinya kasus KKN, tidak bisa berperan menyuarakan aspirasi rakyat, hanya bersenang-senang dalam kursi kekuasaan, menjalankan politik transaksional yang bersifat oportunis dan privantif, atau seakan-akan negara hanya ingin dijadikan alat eksploitasi kapital berlebihan oleh para kepentingan elit tertentu?.

Tampaknya dari sini kita memahami bahwa konteks kejahatan sudah semakin beragam. Dari yang telah di jabarkan dalam paragraf di atas, muatan konteks lainnya mengenai aspek hukum, agama, lingkungan, dan lainnya juga tidak berbeda jauh karena selalu ada keterkaitan orientasi politis yang dijadikan sebagai tolok ukur kesuksessan atau keberhasilan suatu aktor mendominasi, melegitimasi, serta menghegemoni lewat otoritas tertentu untuk memuluskan jalan kepentingannya.

Kejahatan juga identik dengan kekerasan. Akan tetapi, kekerasan juga tidak timbul seketika atau bersifat tunggal/imajiner. Dibalik itu semua, ada beberapa faktor tertentu yang menginisasikan atau mendasarkan niatan mereka melakukan sebuah tindakan yang terbilang sangat irasional. Jika menilik problematik perjuangan transisi demokrasi dari tahapan prosedural hingga aktualisasi, kekerasan memang seakan sudah menjadi suatu budaya tersendiri yang berkembang dengan corak-corak atau ciri khas yang berbeda sesuai dengan latar belakang identitas dimana kejadian itu berlangsung, aktor yang bergerak, atau dasar kepentingan apa yang mereka tuntut.

Jiwa kolektif juga menjadi faktor penting yang bisa melahirkan kejahatan tersistematis. Kejahatan yang dimaksud dengan mengakomodir kelompok tertentu untuk memiliki satu landasan perspektif yang sama untuk menuntut sesuatu seperti mahalnya harga BBM, intimidasi dari kelompok oposisi karena perbedaan ideoogi, sentimen sosial atau budaya yang berbeda serta beragam, tiadanya kebebasan dan kesetaraan yang di dapatkan dalam memenuhi hak, pelayanan birokrasi yang lambat, tidak efisien, dan kurang professional, kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) oleh para elit politisi, provokasi dari apparat negara yang memecah belah kondusifitas massa aksi, dan lain sebagainya.

Semua cara yang dilakukan seakan-akan telah menciderai demokrasi yang seharusnya bisa berjalan dengan bebas dan bertanggung jawab, partisipatif tanpa ada reaksi yang berlebihan, selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam mencapai sebuah konsensus atau kesepakatan, serta meredakan konflik-konflik kecil sampai komunal dengan tetap memperhatikan kaidah hukum yang berlaku.

Dalam etika individual, masalah kejahatan biasanya dikaitkan dengan keputusan atau tindakan seseorang. Kejahatan atau keutamaan ditentukan oleh tiga dimensi tindakan manusia (Etika Politik dan Kekuasaan, 2014):

  • Terkait dengan diri subjek pelaku, yaitu masalah kehendak baik/jahat, masalah kebebasan, dan masalah pengetahuan. Tindakan dikatakan bisa dipertanggung jawabkan secara moral jika secara sadar dikehendaki dan secara bebas dilakukan.
  • Masalah konteks atau situasi yaitu masalah tempat maupun waktu, termasuk konteks komunitas, konteks tindakan dilihat dari tiga dimensi: yang lalu, sekarang, dan yang akan datang.
  • Masalah tujuan, hasil, risiko, atau konsekuensi. Dimensi ketiga ini sangat terkait dengan tradisi teleology (finalitas). Dalam tindakan ada tujuan dikehendaki, bisa diramalkan hasilnya.

Meninjau pentingnya keterlibatan masyarakat sipil khususnya dalam menempuh transisi demokrasi yang penuh problem dan dilematis secara prosedur. Sejarah kebelakang tentang beberapa kasus dehumanisasi, kudeta dengan kekerasan, dan lain sebagainya itu merupakan coretan tinta perjuangan demokratisasi. Indonesia memang tidak terlepas dari kejahatan struktural, sistematis, maupun terakodomir lewat lembaga formal, informal, bahkan kepentingan individu untuk mencapai suatu nilai tertentu. Perjuangan meraih suatu kekuasaan memang tidak akan terlepas dari strategi politik yang brilyan, berbeda, serta memiliki kreativitas, bahkan menimbulkan kerugian besar. Demi menjalan situasi demokrasi yang tetap stabil dan tidak memiliki sikap ketergantungan terhadap kerjasama, afiliasi, atau konvensi yang dilakukan hanya untuk mengakomodasi kelompok tertentu.

Sudah seharusnya sebagai massa atau rakyat yang telah terakomodir opini dan aspirasinya secara rasional, dan berbagai isu-isu empiris yang menjadi pembelajaran. Kita tetap harus membuktikkan konsistensi bahwa kejahatan tidak keseluruhan memberikan dampak sedikit pun yang berarti selayaknya asas kebermanfaatan, keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kesejahteraan yang harus selalu diperjuangkan untuk mencari kebenaran. Terlebih kita tetap harus konsisten dan bersikap teguh menjadi aktor bagaimana kejahatan yang telah dibahas tidak menjadi parasit dalam kehidupan demokrasi multi-aspek di Indonesia. (Diolah dari berbagai sumber)

No More Posts Available.

No more pages to load.