Politisasi SARA dalam Pilkada

oleh

353AC4C6-F9D2-4E5A-A8AE-38E70F34B2B2

Batamraya.com – Penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikhawatirkan akan berlanjut dalam Pilkada 2018. Apakah benar tren politisasi SARA ini akan berlanjut? Bagaimana pendekatan yang seharusnya digunakan untuk mengantisipasi dan menangani politisasi SARA? Tulisan pendek ini akan menganalisis dua isu krusial tersebut.Jika kita refleksikan modus politisasi isu sensitif dimaksud khususnya politisasi agama pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kita akan menemukan empat faktor determinan utama. Pertama, faktor kandidasi. Kandidat dalam pesta demokrasi di DKI lalu merupakan faktor penting yang menjelaskan bekerjanya politisasi agama. Figur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus diakui merupakan sosok yang rentan menjadi objek penyingkiran politik berbasis suku dan agama karena secara given Ahok adalah sosok minoritas jamak.

Di samping itu pembawaannya yang ceplas-ceplos berkonsekuensi mudah kepleset ucap. Maka begitu Ahok keceplosan  menyinggung Al-Maidah: 51, politisasi agama tak terbendung yang kemudian kita ketahui tak hanya mengalahkannya dalam kontestasi, tapi juga menjebloskannya ke penjara.

Kedua, sublimasi wacana politik. Wacana yang berkembang setelah peristiwa viralnya postingan potongan video Buni Yani menunjukkan kecanggihan peluhuran wacana politik menjadi wacana keagamaan, bahkan nasionalisme. Reproduksi wacana kontra-Ahok dilakukan dengan “meluhurkan” kontestasi politik menjadi “jihad keagamaan dan kenegaraan”. Para operator wacana tersebut merekayasa sedemikian rupa kemarahan publik anti-Ahok dengan “jihad umat melawan penista agama” sehingga terjadi berjilid-jilid aksi demonstrasi menentang Ahok.

Ketiga, mobilisasi massa. Pilkada DKI yang lalu unik karena mobilisasi massa pada akhirnya tidak hanya melibatkan pemilih setempat, tetapi juga menghimpun massa dari hampir seluruh masyarakat Indonesia yang belum pulih dari polarisasi pasca-Pemilihan Presiden 2014. Ini menggambarkan “kesempurnaan” kerja-kerja politisasi agama yang melibatkan banyak elemen kelompok.

Keempat, konsolidasi kelompok intoleran. Kelompok-kelompok yang ikut bermain dan menjadi faktor determinan dalam Pilkada DKI sebenarnya mulai berkonsolidasi sejak satu dekade lalu. Hal itu ditandai dengan tingginya frekuensi tindakan vigilante  yang sebagian besar melibatkan mereka sebagai aktor seperti dikonfirmasi oleh beberapa lembaga riset semisal Setara Institute dan Wahid Institute/Foundation. Dalam Pilkada DKI mereka secara berkelanjutan melancarkan pengaruh dan tindakan intoleran kepada pemilih Jakarta seperti pengusiran pendukung kontestan lawan dari masjid, penolakan menyalati jenazah pendukung “penista agama”, penyebaran ancaman tentang neraka akibat kafir dan munafik, serta beberapa tin¬dakan lain.

Melihat empat faktor determinan tersebut, kecil kemungkinan akan terjadi replikasi politisasi agama ala Jakarta. Tiga dari empat faktor determinan tersebut sulit terbentuk. Dari sisi kandidat, personifikasi “Ahok” sudah tidak menarik sebagai kampanye politik, berbeda dengan fenomena Ahok sebelum kasus penistaan agama di mana Ahok yang berani, tegas, dan konfrontatif atas anggota legislatif yang dalam perspektif publik korup sering digunakan sebagai kampanye politik kandidat di daerah lain.

Demikian halnya dengan penyebaran wacana-wacana luhur keagamaan sebagai bungkus bagi kepentingan politik kandidat tidak mudah dibangun ulang dari pengalaman Pilkada DKI. Semakin cairnya pola koalisi menunjukkan gambaran sesungguhnya pragmatisme elite dan partai politik. Hal itu akan menyulitkan packaging kampanye politik menggunakan isu-isu agama.

Selain itu mobilisasi massa (dan suara) dalam skala nasional untuk memengaruhi preferensi pemilih lokal sulit dilakukan, termasuk di daerah-daerah besar sekalipun seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

No More Posts Available.

No more pages to load.