Politik Identitas Bernuansa SARA

oleh

776B226B-684C-4740-BE50-DC440D454F86

Batamraya.com- Potensi politik identitas bernuansa SARA tidak dapat dipandang sebelah mata. Pertama, masyarakat Indonesia masih hidup dalam komunalisme.

Kuatnya ikatan in-group, identitas, dan kolektivitas kelompok menumbuhkan sikap tertutup, konservatif, dan intoleran terhadap kelompok lain (out-group) yang dipandang sebagai ancaman dan lawan.

Agenda Pemilihan Umum Pileg dan Pilpres sering kali menjadi ajang supremasi kelompok atas yang lainnya. Dibandingkan dengan identitas etnis dan partai, identitas agama jauh lebih kuat. Bagi sebagian umat beragama, pilkada bukan sekadar masalah politik, tetapi persoalan teologi dan ibadah.

Kedua, menguatnya fenomena populisme. Ekspresi populisme sangat beragam. Di satu sisi, populisme menjelma menjadi gerakan perlawanan terhadap politik representatif dengan tampilnya para calon independen yang membuktikan dirinya sebagai figur publik karismatik.
Partai politik hanyalah kendaraan. Kemenangan ditentukan oleh kemampuan memperoleh dukungan massa, bukan penguasa.

Pemilihan langsung adalah proses terbuka di mana kemenangan ditentukan oleh kuantitas suara, bukan kualitas pemilik suara. Sistem ini merupakan manifestasi nilai kesamaan dalam demokrasi. Sangat wajar jika para kandidat berjuang mendulang suara sebanyak-banyaknya.
Mereka menawarkan perubahan dan program-program populis yang terkait langsung dengan kebutuhan kaum alit  seperti pendidikan, kesehatan, dan moralitas-normatif agama seperti penutupan lokalisasi, pemberantasan perjudian, dan sejenisnya.

Dalam pertarungan politik, populisme adalah hal yang wajar. Masalahnya adalah jika populisme dilakukan dengan keculasan, merendahkan, dan menista kelompok lain. Populisme berpotensi menimbulkan masalah SARA ketika dikembangkan dengan model dan pendekatan komunalisme. Populisme melanggengkan dominasi mayoritas atas minoritas yang membuat kohesi sosial dan kebinekaan rapuh.

Populisme juga melahirkan otoriterisme baru. Berbekal kewenangan legal yang luas, para kepala daerah tampil laksana demagog dan raja kecil yang memimpin dengan tangan besi, menyingkirkan lawan-lawan politik dan aparatur yang tidak loyal. The winner takes all menjadi tradisi yang merusak meritokrasi birokrasi, mengabaikan kebinekaan, dan keadilan. Pemimpin populis merasa ikatan langsung dengan rakyat adalah segala-galanya. Untuk itu, mereka berani melanggar berbagai aturan. Akibatnya, satu demi satu kepala daerah menjadi narapidana karena korupsi dan kejahatan lainnya.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres yang berkeadaban. Menihilkan dan memisahkan aspek SARA dalam pilkada tidaklah mudah, bahkan mungkin mustahil. Memilih adalah persoalan preferensi. Rasionalitas dan objektivitas seseorang dalam menentukan pilihan tetap akan dipengaruhi oleh subjektivitas emosional atas dasar keyakinan agama dan afinitas kelompok. Subjektivitas merupakan sikap manusiawi.

Yang paling mungkin diusahakan adalah meminimalkan atau menurunkan potensi politik SARA.

No More Posts Available.

No more pages to load.