Pemolisian Demokratis

oleh

images

Batamraya.com – Pemolisian demokratis oleh Polri ujungnya adalah kesiapan Polri dalam rangka memberikan rasa aman dan jaminan keamanan bagi warga negara. Karena Polri adalah institusi agen negara. Sampai di sini akan muncul perdebatan mengenai konteks memberikan rasa aman dan jaminan keamanan. Harus diakui bahwa  globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antar negara, dan secara berarti mengubah gravitasi politik domestik negara-negara.

Bersama dengan kompleksitas politik dalam negeri, semua itu mempengaruhi “keamanan nasional” (national security) suatu negara. Sebab itu, masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokrasi memerlukan berbagai penataan ulang perundangan yang mengatur tentang “keamanan nasional”. Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan – yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan – sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann (dalam Anggoro, 2003) merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal yaitu, “suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital).

Dalam konteks Indonesia, maka pemolisian demokratis artinya juga harus diintepretasikan sebagai kemampuan polisi untuk mampu menjaga kearifan lokal sebagai nilai penting yang dipunyai oleh masyarakat Indonesia dengan segala keragamannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh David Bayley dalam bukunya Police for The Future (1994). Dikemukakannya, agar dapat menjadi kepolisian demokratis, tindakan polisi perlu mengacu pada empat norma, yakni: 1. memberi prioritas pada pelayanan; 2. dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum; 3. melindungi HAM terutama untuk jenis kegiatan politik; dan 4. transparan. Selain itu, kemampuan memahami masyarakat dan dapat menahan diri atas sikap masyarakat yang seringkali skeptis terhadap niat baik Polri adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya.

Kesimpulannya, dalam konteks Indonesia, agar pemolisian demokratis mencapai hasil optimum, visi ke depan kemitraan polisi dan komunitas perlu menggabungkan secara sinergis antara variabel geografis, sosiokultural, dan bidang-bidang yang mengalami perubahan ekstrem di tiap wilayah. Inilah yang merupakan pokok-pokok dari kearifan lokal, dimana dalam kondisi ini dituntut penempatan personel yang mempunyai kemampuan dasar dalam memahami koneksitas ketiga variabel tersebut. Untuk menciptakan kepolisian yang cocok dengan masyarakatnya dan demokratis, polisi dapat menunjukkan adanya kesetaraan antara masyarakat dengan kepolisian. Dengan demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian saja, melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat.

Gaya pemolisian tidak lagi hanya membawa instruksi dari atasan yang bersifat reaktif atau menunggu laporan atau pengaduan atau perintah, melainkan proaktif dan senantiasia menumbuhkan kreativitas, serta mampu menciptakan inovasi – inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam bahasa populer sekarang ini disebut terobosan kreatif atau creative breakthrough. Jadi dalam rangka mendorong pemolisian demokratis, memang dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kearifan lokal untuk melakukan praktik pemolisian yang bisa diterima masyarakat, sehingga efek terbangunnya kepercayaan masyarakat kepada polisi bisa terus bergulir tanpa henti. (A. Wahyurudhanto).

No More Posts Available.

No more pages to load.