Marak, RUU Haluan Ideologi Pancasila Tuai Berbagai Kritik

oleh

ruu hip

BATAM, BATAMRAYA.COM – Pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) saat ini tengah menjadi polemik. Bagaimana tidak, sebab sejumlah pihak turut mengkritik substansi yang tercantum dalam draf RUU tersebut.

RUU HIP, meski dinilai memuat banyak kontroversi, justru disetujui untuk dibahas oleh mayoritas partai politik di DPR. Sejauh ini, 7 fraksi setuju RUU HIP dibahas lebih lanjut. Demokrat menolak, PKS setuju dengan catatan.

Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat mengatakan bahwa RUU HIP begitu cepat diloloskan untuk dibahas karena merupakan usulan PDIP selaku partai penguasa. Anggota Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka bahkan ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja) RUU tersebut.

Alhasil, karena mayoritas fraksi di DPR tergabung dalam koalisi pemerintahan, maka dengan cepat setuju untuk membahas RUU HIP usulan fraksi PDIP.

“Memang kan diusulkan oleh fraksi PDIP, kemudian, karena memang partai di parlemen mayoritas pendukung pemerintah, maka akhirnya demikian mudah untuk lolos,” kata Cecep saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/6/2020).

Cecep memprediksi RUU HIP akan cepat rampung dituntaskan dan disahkan menjadi UU. Alasannya, karena pemerintah saat ini kemungkinan besar setuju dengan RUU HIP usulan DPR.

Mengenai hal ini, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut Presiden Joko Widodo belum mengirim surat kepada DPR tentang setuju atau tidak untuk membahas RUU HIP.

“Kita tahu juga, sebagian besar UU yang jadi itu hasil kompromi jangka pendek dari kelompok-kelompok politik yang kebetulan jadi ‘penguasa’ kemudian juga, yang berkuasa di parlemen,” kata Cecep.

Cecep mengatakan selama ini undang-undang yang dibuat di DPR masih merupakan hasil kompromi jangka pendek dari kelompok-kelompok politik yang berkuasa. Padahal, menurut dia, anggota dewan seharusnya membuat UU dalam kerangka membangun sistem politik yang ajeg.

“Kita tahu kan bagaimana UU satu bisa digolkan, ini semua kan proses kompromi politik. Ketika demikian mudah, ada kemungkinan potensi misalnya agenda yang masih belum disampaikan kepada publik,” jelas Cecep.

Sementara itu, Direktur Political and Public Policy Studies Jerry Massie menilai, DPR tidak seharusnya membahas RUU HIP di tengah pandemi virus corona. Pasalnya, menurut dia, masih banyak RUU yang seharusnya bisa lebih diprioritaskan untuk dibahas.

Sejak pertama kali draf RUU HIP ini muncul ke publik, respons negatif kerap bermunculan. Ormas-ormas keagamaan sepakat menolak RUU HIP.

Salah satu poin penolakan adalah Pasal 6 ayat (1) RUU tersebut yang menyebut tiga ciri pokok Pancasila adalah Trisila, yaitu ketuhanan, nasionalisme, dan gotong-royong. Lalu, pada ayat (2), Trisila dikristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Terkait hal itu, Jerry menilai DPR memiliki agenda terselubung dalam pembahasan RUU HIP. Menurutnya, sejumlah poin dalam draf RUU HIP malah akan mengerdilkan Pancasila.

Mengenai hal ini, PDIP setuju menghapus ketentuan Trisila dan Ekasila yang termaktub dalam Draf RUU HIP usai menuai banyak kritik.

“Jangan-jangan RUU HIP ini ada maksud terselubung hingga ada upaya mengganti dan menambahkan, bahkan menghilangkan kata dan kalimat yang tertera pada sila Pancasila,” ujar Jerry.

Menurut dia, sampai saat ini Pancasila masih relevan dan posisinya tetap kuat sebagai perekat dalam menyatukan bangsa ini dari berbagai suku dan agama. Tidak ada urgensi jika diatur soal Trisila dan Ekasila.

“(Pembahasan RUU HIP) urgensinya tidak ada bagi masyarakat. Selama ini publik tak pernah komplain akan substansi dan eksistensi pancasila kenapa harus dikorek,” tuturnya.

Hal lain yang disoroti Jerry yakni soal ketiadaan TAP MPRS XXV tahun 1966 tentang larangan komunisme dan marxisme. TAP MPRS XXV itu tidak dijadikan peraturan konsideran dalam RUU HIP sehingga dikritik oleh sejumlah pihak.

Menurut Jerry, ketiadaan TAP MPRS tersebut berpotensi memecah belah masyarakat.

Diketahui, sejumlah partai dan ormas Islam menilai TAP MPRS XXV mesti dijadikan peraturan konsideran. Sejauh ini, PDIP sudah setuju mencantumkan TAP MPRS XXV tahun 1966 tentang larangan ajaran komunisme sebagai peraturan konsideran RUU HIP.

“Karena, di masyarakat itu terjadi pembelahan sejak pilkada DKI, kemudian pilpres, masing-masing dua kelompok ini selalu menuduh satu pihak sebagai agen ‘pro komunis’, satu lagi dituduh ‘pro khilafah’,” tuturnya.

Sumber: CNN Indonesia

No More Posts Available.

No more pages to load.