Manakar Hukum Dan Demokrasi Dalam Binkai NKRI

oleh

download (1)

Batamraya.com – HUKUM karena ek­sis­ten­si­nya bergantung pada ada atau tidaknya kehi­dup­an manusia, termasuk dan tak terbatas pada definisi dan kategorinya, maka selalu mu­dah ditemukan. Hukum akan ada bersamaan dengan adanya kehidupan manusia. Namun tidak demikian halnya dengan demokrasi, apa pun definisi dan kategorinya. Demokrasi, seba­gaimana yang terekam sejarah kehidupan manusia, menun­juk­kan ia tidak selalu ada bersa­ma­an dengan adanya kehidup­an manusia.

Perbedaan eksistensi itu juga derajat keberadaban ke­dua­nya yang mengagumkan, di­rangsang oleh satu hal yang sama: impian memuliakan eksis­tensi setiap orang sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT, pencip­ta­nya Yang Ma­ha­mulia. Itulah yang menjadi me­tanilai dan karakter inti pengaturan dalam hukum dan demokrasi. Itu pula sebab­nya hu­kum dan demokrasi sama-sama diimpikan sebagai dua hal yang sama gemilangnya dalam usaha menciptakan kehidupan yang bermartabat.

Terluka Sedari Awal

Kenyataannya martabat ma­nusia baik sebagai individu maupun masyarakat cukup se­ring terluka. Dilukai dengan menggunakan hukum sebagai alatnya dengan pertimbangan serta kombinasi ekspektasi arbi­trer dan demokrasi. Ke­adil­an atau keganasan hukum dan juga demokrasi bergerak secara kontradiktif bergantung pada derajat moralitas pengendali mengenal dan memaknai suara di luar dirinya, kelompok dan golongannya.

Dalam konteks itu hukum di alam demokrasi tidak selalu paralel, sama dan sebangun de­ngan impian filosofis yang me­rangsang dan menyinarinya. Bukan saja karena demokrasi bu­kan hal terbaik dari hal-hal baik sehingga tak memiliki ca­cat cela, tetapi cacat celanya ter­manifestasikan sedemikian ru­mit­nya sehingga alam ke­hi­dupan di dalamnya terasa indah. Cacat celanya memung­kin­kan demokrasi, juga hukum, dide­di­ka­sikan secara kate­gorial.

Di bidang keuangan negara, pemerintahan nasional Ame­rika yang saat itu baru didirikan segera disibukkan dengan per­de­batan tajam antara Hamilton dengan Jefferson. Sebagai men­teri keuangan, Hamilton mati-matian menghendaki Amerika segera memiliki satu bank sen­tral. Ide ini ditentang habis-ha­bisan oleh Jefferson. Kata Je­fer­son seperti dikutip Ralp Anderson, jika rakyat Amerika mem­perbolehkan bank swasta mengendalikan mata uang, per­tama oleh inflasi, kemudian def­lasi, maka bank dan peru­sa­haan yang tumbuh di sekeliling mereka akan mengambil harta kekayaan rakyat sampai anak-anak mereka tidak memiliki rumah di benua yang ditakluk­kan oleh ayah mereka.

Hamilton keluar sebagai pe­menang minimal karena bank yang diimpikannya berhasil dibentuk dengan batas waktu tertentu. Jefferson tidak bisa berbuat apa-apa selama peme­rin­tahannya yang dua periode itu sebelum akhirnya bank ini berhenti beroperasi di masa pemerintahan James Monroe karena izin pendiriannya tak di­perpanjang. Pertarungan elitis ini menandai sedari awal de­mo­krasi tidak selalu didedikasikan untuk rakyat.

Menggelikan

Hukum di alam demokrasi, begitu juga demokrasi di alam supremasi hukum, dalam ke­adaan semutakhir apa pun tak jauh jaraknya dari cacat. Kecuali hukum alam, hukum positif bukan pranata yang tak di­se­ngaja pembentukannya. Ke­se­nga­jaan membentuk hukum adalah cara tercanggih dalam melem­ba­ga­kan kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan. Itu se­babnya kesa­ma­an status civilian setiap indi­vidu tak serta-merta meng­ha­sil­kan kesamaan per­lakuan ­da­lam kehidupan hukum dan de­mokrasi.

Namun kesamaan per­la­ku­an ini terkadang hanya omong kosong. Perbedaan perlakuan pada verifikasi faktual partai politik (parpol) sebagai bagian integral proses hukum yang demokratik menjadikan parpol subjek hukum pemilu, mi­sal­nya, adalah penanda adanya omong kosong kesamaan pe­r­la­kuan konstitusional terhadap semua subjek hukum pemilu. Keengganan parpol di DPR melaksanakan putusan Mah­ka­mah Konstitusi (MK) yang me­wajibkan semua parpol dive­ri­fi­kasi faktual sulit untuk tak me­nandainya sebagai omong ko­song atas kesamaan perla­ku­an konstitusional bagi parpol, sub­jek hukum buatan ini.

Begitu pun dalam konteks pil­kada, terutama pada daerah yang pasangan calonnya tung­gal. Hukum pemilihan kepala daerah kini, entah apa per­tim­bangan filosofisnya, me­nya­ma­kan nilai hukum manusia de­ngan kotak kosong. Kotak ko­song seolah-olah diam-diam pu­nya harkat dan martabat, punya rasa, punya kepentingan. Manusia diadu dengan kotak kosong yang kali ini mungkin berjumlah lebih dari 13 daerah. Menggelikan dan tragis. Sama menggelikan dan tragis dengan pembenaran negatif soal les­bian, gay, biseksual, dan trans­gen­der (LGBT). Kons­ti­tu­sio­na­lis­me abal-abal ini, uniknya, di­sambut gegap gempita.

Hukum klasik, hukum khas raja-raja absolut dalam per­adaban barbarian, tiada bertipe lain selain merendahkan orang tertentu dan meng­is­ti­me­wa­kan orang lain dalam kelas ter­tentu. Miring, bengkok, atau lu­rus dan tegaknya hukum ter­gantung pada status subjek, yakni dari kalangan mana atau siapa yang melanggar hukum itu. Hukum dalam alam ini, yang barbarian, adalah sarana bisnis terbaik, praktik yang tidak sulit ditemukan dalam alam demokrasi.

Intensitas dan kejujuran pe­negakan hukum barbarian ber­gantung sepenuhnya pada de­fi­nisi penguasa atas kasus dan pe­la­kunya. Kawan atau lawan, ber­status apa pelakunya dan apa kon­teks serta manfaat politik yang dapat diraup dari kasus itu men­jadi kriteria pen­ting dalam me­ngarahkan: meng­­hidupkan atau mema­ti­kan hukum. De­mo­krasi harus diakui me­mung­kin­kan hukum di­pakai untuk me­mu­kul kelom­pok masyarakat tertentu.

Kebebasan berekspresi unik­nya membantu mele­gi­ti­ma­si dis­kriminasi-diskriminasi di atas. Berkah kebebasan ber­eks­presi terletak pada mu­dah­nya kebe­bas­an itu dibe­lok­kan untuk mem­benarkan saja, mendu­kung apa adanya, me­nye­satkan, me­nga­lihkan, me­nyangkal dan mem­buat dis­kriminasi tampak ma­suk akal. Ragam argumen yang me­nye­pe­lekan hukum re­kla­masi se­jumlah pulau di Teluk Jakarta plus saling silang pen­da­pat atas usaha nyata Gubernur Anies Bas­­wedan membatalkan serti­fi­kat hak guna bangunan (HGB) menandai me­lem­pem­nya hu­kum di alam demokrasi mu­ta­khir.

Supremasi hukum dalam kasus ini terpersepsi laksana barang rongsokan dibanding dengan manfaat ekonomi, be­ta­papun hitam cara per­oleh­an­nya. Demokrasi tak disadari menjadi tempat bagi sekelom­pok orang yang entah berkat indoktrinasi motivasi atau bu­kan, tertahbis sebagai kelom­pok istimewa, paling kredibel dan bertangung jawab serta men­jadi preferensi utama pene­gakan hukum daripada yang lainnya.

Berkat demokrasi, dis­kri­mi­nasi penegakan hukum dapat dibiarkan berceceran begitu saja dan menjadi bahan debat di tengah masyarakat. Tapi kala debat mulai menusuk, peme­rin­tahan demokratis dapat dengan mudah memastikan diri bahwa mereka tidak selalu me­rupakan pemerintahan yang akrab dengan kritik, mem­perlakukan kritik sebagai ca­haya dalam kegelapan. Tidak. Pemerintahan demokratis di mana pun, tidak lain dari pe­merintahan yang meng­agung­kan efektivitas, efisiensi dan ketenangan bekerja. Kritik, bisa jadi terlihat laksana monster.

Bila sudah begitu ke­ada­an­nya, pemerintahan demokratis dapat dengan mudah meng­esam­pingkan kebebasan ber­pen­dapat. Menurut Susan E Scarrow, UU Sensor di Inggris yang telah dihapus pada akhir abad ke-17 tetap dipertahan­kan sampai pertengahan abad ke-19. UU ini katanya berguna karena menghambat publikasi komentar yang ditafsirkan me­nyebarkan pandangan yang mengancam pemerintah atau partai yang memerintah. Ini juga yang pada awal abad ke-19 dilembagakan di Amerika, dike­nal dengan UU tentang Alien dan Hasutan tahun 1798.

Hukum dan demokrasi, se­lalu begitu, sering kali menjadi dua hal saling membelakangi, walau tak jarang juga ber­iring­an. Mengagungkan hukum bu­kan tanpa bahaya bila de­mo­krasi tak sesehat nurani para filosof. Hukum yang buruk bu­kan tipikal rezim klasik. Hukum yang buruk juga tipikal rezim demokratis. Demokrasi bisa ja­di benteng terkuat bagi hukum yang burukj

No More Posts Available.

No more pages to load.