Batamraya.com – Istilah golput atau golongan putih di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak Pemilu di masa orde baru. Pada masa reformasi, ancaman golput malah semakin meluas tidak hanya di tingkat nasional (pemilu), akan tetapi hingga di tingkat pemilihan kepada daerah (pilkada). Awal Desember 2008 atau menjelang memasuki tahun Pemilu 2009, isu tentang golput mulai disoroti kembali dengan menambahkan ide tentang fatwa haram. Tulisan bagian pertama ini membahas pengertian secara umum tentang golput dan faktor-faktor penyebab terjadinya fenomena golput. Diharapkan setelah memahami apa dan bagaimana golput, maka akan dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sikap dan penilaian.
Golput Secara Umum
Di negera manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrasinya, golput adalah fenomena dalam demokrasi. Golongan putih (golput) atau disebut juga ‘No Voting Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No Voting Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara..Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih (golput) ternyata semakin rumit.
Ada beberapa hal yang harus dipikirkan jika ingin golput
1. Sah tidaknya Pemilu tak ditentukan seberapa banyaknya jumlah golputer.
Misalnya, jumlah anggota Pemilih yang berhak memilih 150 ribu jiwa, tapi realitasnya yang memilih hanya 60 ribu orang, sedangkan yang golput sebanyak 90 ribu orang. Maka, pemilihan tetap berlangsung dan SAH! Jadi, golput tidak punya kekuatan.
2. Terpilih tidaknya menjadi kepala daerah tak terpengaruh dan TIDAK PULA ditentukan oleh suara golput, tetapi berdasarkan suara terbanyak dari pemilih sah.
3. Jumlah orang yang golput itu SAMA SEKALI TIDAK DIPERHITUNGKAN keberadaannya dalam UU Pemilu. Dengan kata lain: jumlah suara golput sebanyak 10.000 orang itu misalnya, dianggap tidak ada, dan PASTI DIKALAHKAN dengan jumlah 500 orang yang memilih.
4. Suara golputer itu, realitasnya, tidak dapat menjadi solusi dan tidak punyai pengaruh apapun untuk kebaikan negeri ini.
Hingga kini, golput tidak ada legalitasnya yang mampu menuntut sah atau tidaknya hasil pemilihan. Golput juga tidak bisa menurunkan atau mengangkat seorang Presiden atau kepala daerah terpilih.
5. Golput itu umumnya bukan dari pemikiran rasional tapi emosional.
Biasanya mereka yang golput itu akibat rasa kecewaan, pesimis, putus asa dan apatis terhadap keadaan negeri ini. Bahkan, apatis (tidak peduli) bila negara dan bangsa ini dikuasai/dijarah oleh para penjahat.
6. Dengan sistem dan peraturan UU Pemilu yang ada, salah satu yang diinginkan oleh para koruptor itu adalah: semakin banyak anggota masyarakat yang memutuskan untuk golput, agar mereka lebih mudah menjadi anggota dewan dengan ‘money politic’.
7. Sikap golput ini akan makin berbahaya jika yang golput adalah orang-orang shalih dan baik.
Sebab, ketidaksertaan mereka dalam Pemilu akan menambah sedikit dukungan untuk orang baik-baik di panggung kekuasaan. Jika orang-orang baik itu semakin sedikit, maka peluang para koruptor dan penjahat akan semakin mudah melenggang kepanggung kekuasaan. Misalnya, jika anggota dewan itu seharusnya 500 orang, maka kalau jumlah orang baik-baik hanya 100 orang, secara otomatis orang tidak baik itu menjadi 400 orang.