Budaya Politik

oleh

Batamraya.com – Budaya politik  (political culture) hampir bisa dipastikan adalah aspek reformasi politik yang tidak berkembang signifikan sepanjang masa transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia selama hampir dua dasawarsa terakhir. Akibatnya, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto masih ditandai kelemahan mendasar yang membuatnya cacat (flaw democracy).

Berbagai aspek budaya politik, seperti sikap, kepercayaan, dan sentimen, yang menciptakan tatanan dan makna pada proses politik sering tidak cocok dengan demokrasi. Budaya politik yang juga terkait asumsi dan tata aturan yang membentuk perilaku politik dalam sistem politik acap kali tidak selaras dengan demokrasi.

Indonesia boleh bangga dengan pencapaian demokrasi lewat pemilihan umum yang terselenggara sejak 1999. Indonesia sangat kaya  pemilu, seperti pemilihan legislatif (pileg) yang sudah empat kali menjelang lima kali (1999,2004, 2009, 2014, dan segera 2019). Lalu, pemilihan presiden secara langsung (2004, 2009, 2014 dan tak lama lagi 2019). Selain itu, masih ada pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005 yang pada 2018 dilaksanakan di 171 daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Akan tetapi, pemilu cenderung kian menjadi rutinitas. Di luar kerutinan, hanya ada ketegangan dan peningkatan suhu politik. Penyebabnya sering bukan murni politik, melainkan karena penggunaan dan penyalahgunaan (used and abused) isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi politik. Padahal, isu SARA tidak hanya divisif, tetapi juga membuat merosotnya kualitas demokrasi.

 Kualitas demokrasi terkait tidak hanya dengan pemilu yang dilaksanakan regular. Ada faktor lain yang membuat meningkatnya kualitas demokrasi, terutama budaya politik yang semestinya kompatibel dan memperkuat demokrasi.

No More Posts Available.

No more pages to load.