Batamraya.com – Tidak lama lagi Indonesia akan menorehkan sejarah kepemiluan dengan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 yang diikuti 171 daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Se-belumnya Pilkada Serentak 2015 dan 2017 sukses diselenggarakan. Kita berharap pilkada tahun ini menjadi momentum lahirnya para pemimpin berkualitas dan memiliki integritas dalam membangun daerah.
Segenap elemen berharap momentum pilkada serentak yang ketiga kalinya ini akan menjadi arus balik kebangkitan negeri ini dari sisi politik. Disadari ruang politik menjadi ruang sangat strategis dalam mendorong perubahan signifikan sebuah bangsa di semua sendi kehidupan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah momentum ini mampu melahirkan kepala daerah dengan kepemimpinan politik berkualitas? Apakah pilkada mendatang akan melahirkan gubernur, bupati, dan wali kota yang benar-benar memiliki visi perubahan, antikorupsi, dan benar-benar bekerja untuk rakyat?
Semua pertanyaan di atas akan terjawab dengan melihat beberapa hal penting, yakni pertama, pilkada mendatang adalah ruang di mana rakyat memiliki kebebasan sebesar-besarnya dalam menentukan pilihannya, baik calon gubernur, bupati, maupun wali kota. Dengan begitu, pada titik ini dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun mendatang dengan memilih pemimpin yang tepat.
Kedua, lahirnya eksekutif yang baik, pemimpin daerah berkualitas yang memiliki visi perubahan, antikorupsi, dan bekerja untuk rakyat, sangat ditentukan oleh pilkada berkualitas. Pada titik ini penye-lenggara pemilu dan tingkat partisipasi di seluruh lapisan masyarakat agar melakukan pengawasan terhadap proses pilkada yang akan menentukan terciptanya kualitas pemilu yang baik.
Ujung tombak pengawasan pemilu adalah Bawaslu RI, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten, panwas kecamatan, pa-nitia pengawas lapangan, dan pengawas tempat pemungutan suara. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang kini mengalami pergeseran orientasi mendasar pada dua hal: pertama, derajat independensi, tampak dari sumber rekrutmen keanggotaan pengawas pemilu berasal dari kelompok masyarakat indepen-den nonpartai.
Kedua, tugas dan wewenang pengawasan kini mengalami penguatan dari sebelumnya hanya sebagai “hakim garis”, sekarang Bawaslu akan tampil lebih powerful . Pasalnya, UU Pemilu memberikan tugas dan wewenang baru bagi Bawaslu dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih adil, bersih, dan demokratis melalui UU Nomor 7 Tahun 2017.
Pada Pasal 93, Bawaslu ber-tugas mengawasi semua tahapan pemilu dan mencegah terjadinya praktik politik uang. Bawaslu juga bertugas mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN), netralitas anggota TNI dan Polri, mengawasi pelaksanaan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pengadilan, keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas ASN, anggota TNI, dan anggota Polri, serta menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP.
Pergeseran orientasi tugas dari sebelumnya pengawasan diarahkan pada penemuan pelanggaran, maka saat ini pengawasan yang diamanahkan untuk mengedepankan pencegahan terjadinya pelanggaran. Berdasarkan pergeseran orientasi sebagaimana terpapar di atas, maka indikator keberhasilan pengawasan pemilu juga tidak lagi ditentukan seberapa banyak temuan pelanggaran dan tindak lanjutnya oleh lembaga pengawas pemilu, melainkan lebih pada seberapa efektif upaya pencegahan pelanggaran pemilu dapat dilakukan lembaga pengawas pemilu. Oleh karena itu, sinergi pengawasan partisipatif menjadi faktor penentu lain.
Pengawasan Partisipatif
Bagaimana masa depan pengawasan partisipatif dalam setiap momentum pilkada? Pada prinsipnya, urgensi pengawasan partisipatif yang dilakukan masyarakat berfungsi untuk memperkuat kapasitas dan kualitas pengawasan, baik pilkada maupun pemilu sehingga mendorong perluasan wilayah pengawasan. Dengan peningkatan jumlah penduduk, daerah pemilihan, dan jumlah kursi, seharusnya juga berimbang pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan.
Pada prinsip pengawasan partisipatif yang digaungkan pengawas pemilu adalah masyarakat tidak hanya berperan pada peningkatan persentase kehadiran saat pencoblosan saja, tetapi lebih mengarah pada pengawalan proses pemilihan sejak awal. Pengawas pemilu berupaya membangun sinergi dengan para stakeholder (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, ormas, mahasiswa, dan pemilih pemula), ter-masuk mendorong kesadaran masyarakat untuk bersama mengawasi segenap proses yang ada, minimal menjadi informan awal bagi pengawas pemilu.
Banyak hal harus diperhatikan, terutama pada masa kampanye pilkada dalam mengawasi potensi kerawanan pelanggaran, yaitu masa kampanye yang panjang, tahapan kampanye di bulan Ramadan serta Idul Fitri. Di sini, ada potensi substansi kampanye di-tumpangi, seperti acara buka puasa, bantuan, atau sedekah. Lalu, mahar politik, kampanye hitam, politik uang terstruktur, sistema-tis, dan masif, serta mutasi pejabat oleh petahana. Asas pemilu tentang ketertiban kampanye, misalnya, sering diabaikan oleh parpol dan calon. Sejatinya, parpol dan calon tidak diperbolehkan memasang spanduk dan baliho yang bisa mengganggu kenyamanan publik.
Hal lain yang juga mesti menjadi perhatian adalah menguatnya perilaku politik uang. Perilaku seperti ini hanya menjadikan pemilu sebagai sarana melahirkan para pemimpin korup dan tak bertanggung jawab terhadap persoalan bangsa serta merusak kualitas demokrasi.
Pada titik inilah partisipasi masyarakat untuk ikut serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu mendatang karena ikut menentukan pemilu berkualitas.
Di tengah minimnya kualitas politik masyarakat, parpol, dan politikus, dibutuhkan upaya-upaya serius penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil untuk bersama memperbaikinya agar pilkada bisa melahirkan para pemimpin daerah berkualitas, berintegritas, bermoral, dan bertanggung jawab untuk daerahnya serta Indonesia yang bermartabat.