Suharti, Sosok Kartini Masa Kini, Berjuang dan Bangkit Meski Ditinggal Suami Meninggal

oleh

TANJUNGPINANG (Batamraya.com) – Sosok Suharti, menjadi panutan Kartini masa kini. Meski harus kehilangan Suami, Suharti mampu bangkit dari keterpurukan bersama 3 orang anaknya.

Suharti menceritakan, Ia dinikahi seorang anggota polisi bernama Ponidi yang berasal dari Jogjakarta Saat usianya 19 tahun, pada tahun 1981. Meski usia Ponidi 17 tahun lebih tua, namun cinta tak membuat keduanya menganggapnya sebagai masalah.

“Bapak itu polisi yang sederhana. Apa yang diperoleh di kantor ya itu yang dikasih ke saya. Harus pintar-pintar membaginya,” ungkap Suharti, Minggu (22/4/2018) di Sidorejo, Sei Jang, Bukit Bestari, Tanjungpinang.

Pada tahun 1992, saat usia pernikahan Suharti dan Ponidi berjalan 13 tahun, sang suami dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia menderita sakit mendadak. Rionaldi (6), Dondi (5) dan Meta (4) pun menjadi anak yatim. Suharti pun menjadi single parent, orangtua tunggal. Merangkap ibu juga ayah.

Beruntung dua tahun sebelum Ponidi meninggal, keluarga bahagia ini sudah pindah dari asarama polisi ke rumah sendiri di Jalan Soekarno Hatta, Gang Nila 1 Nomor 4. Saat meninggal Ponidi berusia 50 tahun, pensiun Bintara waktu itu 48 tahun.

suharti2-800x445

“Rumahnya hanya ada ruang tengah dan dua kamar. Tanpa dapur dan ruang tamu,” kenang Suharti, didampingi anak tertuanya, Rionaldi.

Menghadapi kondisi yang berat, Suharti mencurahkan keinginannya kepada saudaranya di Belakangpadang, Batam. Tekadnya bulat, akan menyeberang ke Singapura mencari pekerjaan untuk membiayai hidup ketiga buah hatinya.

Berharap mendapat dukungan, justru ia ganti membulatkan tekadnya untuk menghidupi ketiga anaknya dengan berusaha bertahan di Tanjungpinang.

“Bagaimana mau nekad berangkat, jika Abang saya di Belakangpadang bilangnya begini: anak-anakmu baru saja kehilangan ayahnya, kok ya tega kamu juga mau ninggalin mereka. Saya terpukul, saya menyayangi anak-anak,” ucap Suharti menahan haru masa lalunya.

Sistem administrasi yang belum secanggih saat ini menambah derita Suharti. Sebagai janda polisi, seharusnya ia mendapatkan pensiun. Memang akhirnya ia mendapatkan haknya itu. Namun uang pensiun itu baru bisa turun setahun setelah kematian suaminya. Apalagi waktu itu Polda Riau ada di Pekanbaru, Tanjungpinang masih masuk wilayah Provinsi Riau.

Terbersit untuk berjualan sarapan pagi. Akhirnya, dengan meja sederhana Suharti menjual nasi lemak dan lontong sayur di tepi Jalan Soekarno Hatta. Berangkat jam 06.00 WIB, jam 09.00 atau 10.00 WIB jualannya habis.

Siapa yang tak mau dapat duit tambahan. Buat belanja. Buat beli baju anak-anak. Buat kehidupan sehari-hari. Suharti pun senang. Hanya, ia akhirnya memutuskan berhenti berjualan.

Alasannya satu, rasa lelahnya sudah sampai puncak. dan ia tak ingin tak memiliki waktu lagi untuk anak-anaknya. Selama ini, ketika ia jualan, ada yang membantu mengurus anak-anaknya. Yaitu penyewa salah satu kamar di rumahnya. Kebetulan ada dua kamar di rumah, satu ditempati Suharti bersama tiga anaknya, satu lagi disewakan untuk menambah uang belanja.

Mendadak ada tetangganya bernama Ria, seorang pegawai sipil di Angkatan Laut, memberikan saran untuk membuka katering. Suharti ingat betul waktu itu tahun 1995.

“Saya tanya, siapa nanti pelanggannya. Ibu Ria menjamin ia mau menjadi pelanggan,” kata Suharti.

Benar, akhirnya memang Ria langganan katering lauk dengan Suharti. Hanya satu rantang lauk tanpa nasi, harganya Rp10 ribu.

Dari mulut ke mulut serta promosi Ria ke teman-temannya, akhirnya pelanggan katering Suharti menjadi 8 orang. Begitu menginjak angka tersebut, selanjutnya Tuhan menunjukkan kuasanya.

“Dari 8 kok langsung 17 orang yang mau langganan katering saya,” wajah Suharti terlihat cerah saat menceritakan bagian ini.

Ia semangat. Karena cukup kewalahan, belanja ke pasar dan juga memasak. Akhirnya ia meminta bantuan sudara. Buah kerja keras biasanya manis. Itulah yang dirasakan Suharti. Ia optimis membesarkan Rio, Dondi dan Meta.

Suharti berterima kasih kepada Allah SWT. Tak lupa ia menyebutkan nama mantan Kasatreskrim Polresta Tanjungpinang, Drs Cecep Rusmana.

“Beliau yang mengangkat anak Dondi sejak usianya 4 tahun hingga kuliah. Sampai sekarang kami masih seperti saudara,” sebut Suharti. Cecep saat ini sudah tak lagi berdinas di Tanjungpinang. Di Jakarta.

Orangtua tunggal bagi ketiga anaknya tak membuat Suharti hanya mengeluh. ia bangkit dan Suharti Catering pun melegenda.

Polisi yang lama berdinas di Tanjungpinang disebut Suharti banyak yang paham bagaimana ia merintis usaha tersebut. Tanpa bantuan modal orang lain. Tidak meminjam bank. Tidak meminjam tetangga.

Tak heran jika instansi militer di Tanjungpinang menjadi pelanggan tetap setiap kali ada acara. Semakin lama, kateringnya berkibar sehingga instansi lain seperti pengadilan, kantor-kantor pemerintah pun masuk ke daftar pelanggan setia.

Selain katering untuk makan sehari-hari, Suharti juga menerima pesanan untuk pesta. Dari jumlah puluhan hingga ribuan kotak. Bukan hanya di Tanjungpinang, melainkakan sampai ke Batam.

Untuk memesan makanan pesta ke Suharti Catering juga tak bisa lagi hari ini pesan hari ini minta diantar.

“Jauh-jauh hari pesannya, biar bisa direncanakan dan memasaknya pun senang. Paling cepat sebulan sebelum acara,” pesan Suharti.

suharti-3Suharti adalah Kartini yang layak dikagumi. Lihat saja Rionaldi yang sekarang. Memilih untuk membantu ibunya mengurus katering ketimbang kuliah, ia hidup berkecukupan.

“Meski saya membantu ibu, saya diperlakukan seperti karyawan,” ungkap Rio yang awalnya karyawan Telkomsel. Suharti yang memintanya berhenti karena ia butuh banyak bantuan mengurus katering.

Adik Rio, Dondi pun sekarang sudah mapan di Batam. Sarjana Ilmu Komunikasi sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta ini menetap di Batam. Namun secara berkala masih rajin mengunjungi ibu dan saudara-saudaranya di Tanjungpinang.

Sementara si bungsu, Meta, juga sudah bekerja di Bintan.

Rumah perjuangan yang dulu baru jadi separo, kini seolah disulap. Seperti di program televisi Bedah Rumah itu. Semua biaya perbaikan dari hasil katering.

“Bagi kami, ibu teladan yang nyata karena kami menyaksikannya sendiri,” kata Rio sambil mengusap matanya. Ia terharu.

Suharti yang mengenakan busana muslimah lalu menatap wajah anak pertamanya itu. Tak ada kalimat yang diucapkannya. Saat mata ibu dan anak ini bertatapan, hanya ada hening. Namun keduanya tengah berbicara, tentang perjuangan, tentang masa lalu, tentang susah, dan tentu saja bahagia.

Lalu tiba-tiba ia menatap ke arah jalan, mengucapkan, “Ibu Kartini akan bangga jika wanita Indonesia tidak selalu pasrah dengan kondisinya. Berjuanglah, kesulitan ekonomi akan terus ada bagi mereka yang tak mau berusaha meski penuh cobaan.”

 

via Suarasiber.com

No More Posts Available.

No more pages to load.