Sosok Tokoh Perubahan, Wakapolri Membangun Umat Lewat Masjid

oleh

JAKARTA (Batamraya.com) – Salah satu sosok yang dianugerahi Tokoh Perubahan yaitu, Wakapolri, Komjen Pol Drs H Syafruddin MSi. Di pundak Sang Tokoh ini juga tersampir amanah Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Chef de Mission (CdM) Kontingen Indonesia di Asian Games 2018 Jakarta – Palembang.

Syafruddin memang termenung dan sempat berpikir lama ketika didatangi Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi bersama timnya ke Mabes Polri tempo hari, mengabarkan penganugerahan Tokoh Perubahan itu. Malah ia sempat kaget dan sempat merenung sejenak. “Apa ini pantas, karena ini mengejutkan bagi saya. Dari mana republika menunjuk saya,” ucap Syafruddin saat menerima anugerah Tokoh Perubahan ini.

Tentu saja sangat pantas, sebab torehan jejak rekam Syafruddin, jika dirunut ke belakang, sungguh mulia untuk sebuah perubahan yang menggelinding dari rumah Allah.

Ia tampil sebagai Tokoh Perubahan yang membangun umat lewat masjid.

598AB9AA-7308-443C-AC9F-CA2678AD415D

Wakapolri, Komjen Pol Drs H Syafruddin MSi, yang kini mengembang amanah sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Periode 2017 – 2022. Sebuah tugas mulia, mengurus masjid-masjid di seluruh Indonesia.

Syafruddin berkisah tentang dirinya yang sudah memegang amanah menyusun jadwal khatib shalat Jumat dan merancang kegiatan keagamaan dalam rangka meramaikan masjid, sejak ia berusia 12 tahun. “Biasanya anak seusia saya waktu itu sedang asyik-asyiknya dalam kehidupan bermain. Saya tidak begitu, sebab sejak kecil saya sudah dekat dengan lingkungan masjid,” ujar pria kelahiran Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, 12 April 1961 silam.

Kedekatan Syafruddin dengan masjid, membuahkan ketulusan dan keikhlasan.  Dua hal yang diperolehnya itu sangat melekat dalam diri pria yang punya kebiasaan berpuasa sunnah Senin dan Kamis sejak 18 tahun terakhir ini. “Menghidupkan masjid adalah panggilan jiwa, kesadaran atau inisiatif tanpa berharap imbalan. Hati kecil saya selalu merasakan ketenangan karena selalu berdekatan dengan Ilahi Rabbi,” jujurnya.

Orang yang memakmurkan dan meramaikan masjid seperti Syafruddin, sangat disenangi oleh masyarakat. Sehingga ia dipercaya mengelola Masjid Al Markaz Al Islami, rumah Allah yang megah dan ramai dengan berbagai kegiatan Islam di Makassar. Sejumlah saudagar Muslim telah mendukung pembanguan masjid besar tersebut. Salah satu di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kehadiran Syafruddin di kepengurusan DMI memiliki arti penting dan peran besar, terutama membantu tugas-tugas Ketua Umum DMI, Jusuf Kalla. Keberadaaannya sebagai Wakil Ketua Umum diharapkan mampu memperkuat dan dapat mengembangkan jaringan kepengurusan DMI. Dedikasinya terhadap organisasi di balik layar pada periode sebelumnya menjadi semacam garansi untuk kemajuan DMI saat ini dan di masa yang akan datang.

Ia nampak semakin dekat dengan masjid, apalagi ketika menjadi Wakil Ketua Umum DMI. “Saya melihat masjid menjadi tempat berbagai aktivitas sosial. Selain ibadah, tempat sujud ini juga menjadi pusat pemberdayaan ekonomi,” ungkap Syafruddin.

Oleh sebab itu, DMI bertekad untuk menjalankan visi dan misi memakmurkan dan dimakmurkan masjid. Ia berharap umat Islam bisa memakmurkan masjid dengan beragam kegiatan, mulai dari ibadah, sosial, sampai kegiatan ekonomi. “Masyarakat sangat mungkin dilibatkan dalam pembangunan ekonomi dengan memanfaatkan masjid,” tutur lulusan Akabri tahun 1985 itu.

Berbagai kegiatan usaha baik kecil maupun menengah bisa memanfaatkan tempat yang ada di sekitar masjid. “Artinya, masyarakat yang berada di sekitar bisa dimakmurkan oleh masjid,” katanya.

Sebagai Wakil Ketua Umun DMI, Syafruddin menginspirasi dua hal yang harus di implementasikan. Dan, ia telah melakukanknya.

Pertama, pengembangan fungsi masjid dan meramaikannya. Ia telah mengunjungi Astana Kazakhstan baru-baru ini. Di negara itu, muslim berkembang pesat. Kaum muslim telah menunjukkan identitaanya dengan meramaikan dan mensejahterakan masjid. Padahal, dulu Kazakhstan adalah tempat komunisme beranak pinak.

Di ruang-ruang publik, kaum muslim, lelaki maupun perempuan, tampak berbusana sesuai syariat, dengan menutup aurat. Jika azan berkumandang dari maajid-masjid, penduduk negara itu berbondong-bondong datang meramaikan masjid untuk  shalat berjamaah di waktu-waktu shalat.

“Sambil menundukkan kepala mereka mengangkat kedua tangan, bertakbiratul ihram, tanda berserah diri kepada Allah. Padahal, belasan tahun lalu, saat shalat Jumat pun  masjid di sana hanya diisi seratus hingga dua ratus jamaah. Kini, di saat masuk waktu shalat Jumat, shaf dalam masjid telah dipadati ribuan kaum Muslim, hingga meluber ke halaman masjid dan jalan raya,” tutur Syafruddin.

Sementara di London, lanjutnya, belasan tahun terakhir ini juga telah mencuri perhatian dunia. Pasalnya,  ratusan masjid kini telah berdiri di sana. Bahkan, sejumlah rumah ibadah agama lain dialihfungsikan menjadi masjid yang menjadi tempat warga dan komunitas-komunitas muslim yang ada di pusat Kerajaan Inggris itu, untuk berkumpul dan berdiskusi. Mereka saling bertukar pikiran di masjid, menyampaikan keluh kesah menghadapi kehidupan dan mencurahkan kesyukuran atas nikmat dan kebahagian yang telah dicapai.

Tak hanya itu, berbagai sektor publik pun telah mereka ramai-ramai penuhi dan manfaatkan dalam rangka mengaktualisasikan diri.

Lantas, di Indonesia sendiri bagaimana? Menurut Syafruddin, umat Islam Indonesia juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. “Para pemuda penuh semangat meramaikan masjid,” ujarnya.

Ia mencontohkan realitas yang ada itu di Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Cut Meutia, dan sejumlah masjid lainnya yang ada di Jakarta.  “Tingginya semangat anak-anak muda untuk beribadah, membuat sebagian masjid tak mampu lagi menampung jamaah sehingga mereka tumpah ruah di jalanan hanya untuk beribadah. Masjid akan selalu menjadi tempat umat berharap, sampai kapanpun, hingga akhir zaman,” jelas Syafruddin.

BF0D8DE1-9270-457E-AB64-6C295F8B5EAE

Dinamika masyarakat muslim di berbagai wilayah inilah, kata  Syafruddin, telah membuktikan bahwasanya umat Islam semakin mencintai ajaran agama yang dianutnya. Semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. “Coba kita lihat di masjid-masjid itu, betapa mereka bersemangat dan tekun  mengkaji Al Quran yang berisikan syair indah tuntunan hidup dan ajaran penuh inspirasi. Mereka pun merujuk pada hadis yang diriwayatkan para sahabat dan ulama otoritatif,” kicaunya.

Di dalam dinamika itu ada harapan. Ada sinar yang akan menerangi sekitarnya, dan menggerakkan seluruh tubuh umat Muslim untuk beramai-ramai mengagungkan asmah Allah dari rumah Sang Pencipta jagat raya beserta segala isinya. “Umat Islam telah memahami, bahwa bersujud di masjid, atau beribadah dalam arti luas akan diganjar 27 kali lipat kebaikan dibandingkan dengan melakukannya di rumah. Itulah harapan,”   kata ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2004-2009 ini.

Kedua, keberaadaan masjid haruslah menjadi tempat pergerakan sosial. Menjadi sentra muamalah ma’annas. Fungsi ini dijalankannya belum lama ini. Ketika sejumlah wilayah Ibu Kota terendam banjir, Syafruddin mengarahkan pengurus takmir setempat untuk mengaktifkan masjid menjadi penampungan dan sentra bantuan. “Berbagai fasilitas yang ada dimanfaatkan untuk menolong mereka yang mengalami kemalangan. Hal sama nantinya akan diterapkan di berbagai daerah yang mengalami bencana,” tekadnya.

Agar tak meluas, penyelesaian konflik sosial pun akan di arahkan ke masjid. Keamanan dan ketertiban akan lebih terjaga. “Konsep ini masih dimatangkan lagi dan nantinya akan ada aksi nyata, baik berupa pelatihan maupun penyuluhan,” ucap Syafruddin.

Masjid Indonesia

Syafruddin tetap menilai masjid yang ada di Indonesia itu unik, meskipun ia sudah mengunjungi banyak masjid di berbagai negara, mengagumi keindahan dan kemegahannya. Di negara lain, masjid dibangun dan didanai negara. Pemerintah juga harus menggaji pengurus masjid, termasuk di dalamnya muazin dan imam. Kebijakan negara banyak berperan dalam pemakmuran masjid dengan berbagai aktivitas di dalamnya.

Lain halnya di negeri ini. Masjid di Indonesia dibangun oleh swadaya masyarakat. Untuk mendirikan masjid misalnya, masyarakat harus mengikhlaskan lahan yang dimilikinya. Ditunjang kesigapan masyarakat dalam menggelontorkan bantuan berupa dana dan harta untuk menyelesaikan pembangunan maajid tersebut.

Setelah masjidnya terbangun, masyarakat pun harus membiayai perawatan bangunannya, dan berbagai aktifitas yang ada di dalam masjid itu. “Imam dan muazin berasal dari masyarakat sekitar. Negara tidak menggaji mereka. Ini unik,” kata Syafruddin.

Untuk itu, tambah Syafruddin, pemerintah tidak bisa banyak mengintervensi masjid. “DMI hanya berkoordinasi dan mengarahkan pengurus takmir masjid, membenahi manajemen mereka, serta memperbaiki sistem pengeras suara agar jamaah nyaman mendengarkan bacaan Alquran dan ceramah. Berbagai upaya pembenahan rumah Allah sudah termaktub dalam sepuluh program masjid DMI,” pungkasnya.

 

Via kompasiana dan Republika

No More Posts Available.

No more pages to load.