Pemilu Dalam Persfektif Islam

oleh

 download

Batamraya.com – Pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung di negara kita Republik tercinta ini setiap lima tahun sekali, tampaknya mendapat legalitas dari ajaran Islam. Pemilu adalah satu proses demokrasi yang harus dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif (ahl al-halli wa al-‘aqdi) maupun kepala negara –presiden dan wakilnya– yang disebut dengan khalifah.

Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik, sesuai pilihan hati nuraninya masing-masing, tanpa adanya pengaruh, intimidasi dari partai politik manapun, baik parnas maupun parlok.

Islam, dengan totalitas ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, tidak hanya sebatas mengatur hubungannya dengan Allah Swt (ibadah), tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (muamalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dalam upaya mewujudkan kemaslahatan umat secara menyeluruh dan tegaknya nilai-nilai keadilan berbasis syariah di bumi ini.

Bila nilai-nilai tersebut –kemaslahatan dan keadilan– bagi manusia diabaikan, maka sungguh akan terjadi berbagai bentuk diskriminasi, penindasan dan kezaliman. Berkaitan dengan hal itu, maka Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara.

Terkait dengan persoalan ini, tentu harus ada pula lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan, perda atau qanun, di samping lembaga yang secara khusus menegakkan supremasi hukum. Ketiga otoritas tersebut dalam istilah teori kenegaraan modern (saparation of power), terdiri dari pihak atau lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sekalipun, betapa pentingnya sebuah pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model atau bentuk dari suatu negara tersebut. Karena itu munculnya perbedaan di kalangan para ahli hukum dan pakar politik, merupakan sesuatu yang wajar. Baik Alquran maupun al-Sunnah, yang keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, nampaknya tidak memberi petunjuk yang tegas tentang hal itu.

Alquran hanya memberikan beberapa landasan yang prinsipil, antara lain “asas musyawarah” dalam hubungan dengan proses pemilihan pemimpin, menuntut pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. Hal ini seperti dijelaskan Allah dalam Alquran: “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syu’ara: 38).

Atas dasar itu mengharuskan setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya seperti dikatakan oleh Imam al-Syafi’i bahwa kedudukan pemerintah dalam hubungannya dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan anak yatim.

No More Posts Available.

No more pages to load.