Mengupayakan Transformasi Terorisme Munuju Nirkekerasan

oleh

F38CB235-74B7-4420-8A3C-E25685788290

Batamraya– Pada Reading in Social Sciences (RISOS) bulan September yang diselenggarakan pada Senin, 14 September 2015, mendiskusikan esai yang istimewa dari Chaiwat Satha-Anand, Transforming Terrorism With Muslims’ Nonviolent Alternatives? Esai ini istimewa karena dua hal, satu, kali ini RISOS tak membahas laporan penelitian, dan yang kedua, gagasan dalam esai ini menarik untuk diperdebatkan.

Sebagaimana kita ketahui, perang melawan teror menjadi salah satu perdebatan panjang di dunia. Selepas peristiwa 9/11, bom meledak di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Peristiwa Bom Bali 1 dan 2, peledakan hotel JW Marriott, adalah salah satu dari sekian aksi teror yang merebak di dalam negeri. Amerika memimpin di garis depan perang melawan teror. Invasi ke Irak pada tahun 2003 untuk menggulingkan Saddam Hussein berujung pada munculnya teroris baru di kawasan tersebut.

IS mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, lengkap dengan khalifahnya. Atas nama syariat, mereka melakukan eksekusi atas orang-orang kafir atau mereka yang melanggar hukum, merekamnya untuk dipertontokan ke seluruh dunia. Data dari PBB, hingga tahun 2014, diperkirakan sebanyak 24.000 orang terbunuh oleh kelompok ini, sementara sebanyak 459 warga sipil menjadi korban dari 52 serangan udara Amerika Serikat. Jumlah ini belum termasuk korban yang jatuh dari para pencari suaka seperti Aylan Kurdi. Melihat tren yang mengkhawatirkan ini, barangkali sudah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya, mungkinkah ada jalan lain dalam menanggulangi terorisme?

Chaiwat menunjukkan data dalam esainya tersebut bahwa dalam rentang waktu lima tahun antara 1998-2002, ada 1.649 insiden yang dilabeli Kementerian Dalam Negeri Amerika Serikat sebagai “serangan teroris internasional.” Yang menarik, kebanyakan serangan teroris ini justru terjadi di Amerika Latin (676 kejadian), lebih banyak dibanding Asia (387 kejadian) dan Timur Tengah (135 kejadian). Meskipun demikian, statistik menunjukkan bahwa korban jiwa akibat terorisme di Asia jauh melebihi kawasan lain. Di kawasan ini, 4.161 nyawa melayang, jauh lebih banyak dari Amerika Latin (283 orang), dan Timur Tengah (1.462 orang). Serangan 11 September 2011 menyumbang korban paling banyak di wilayah Amerika Utara, menewaskan 4.091 orang.

Terorisme sebagian besar lahir dari kondisi keputusasaan menghadapi kondisi ketidakadilan. Chaiwat kemudian menelaah “terorisme” untuk melihat secara kritis rasionalitas yang mendasari aksi-aksi terorisme dan dinamikanya. Ia kemudian melihat bagaimana muslim menyikapi terorisme, baik dari pendukung maupun penentang, dengan melihat teks keagamaan dan pernyataan yang diungkapkan. Dengan cara ini, ia dapat melihat persamaan dan perbedaan antara terorisme dan nirkekerasan.

Untuk memperoleh data, Chaiwat menggunakan kliping koran, telaah arsip mengenai 18 peristiwa pemberontakan nirsenjata terhadap kekuatan otoriter di dunia ketiga dari tahun 1978-1994, hadits-hadits dan Al-Quran, dokumentasi wawancara di media, materi yang digunakan teroris maupun penentang terorisme, serta buku-buku yang relevan. Dari semua bahan yang ia gunakan, ia membangun argumen bahwa terorisme memiliki beberapa pandangan dasar yang sama dengan gerakan nirkekerasan: yaitu perlawanan terhadap penindasan dan kesediaan untuk berkorban, bahkan berkorban nyawa untuk cita keadilan.

Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bagaimana pandangan mereka terhadap target dan manusia: terorisme memukul rata yang mereka anggap musuh, dan dengan demikian, pada beberapa derajat, manusia dipandang bukan keutuhannya sebagai manusia, namun sebagai alat dan sarana mencapai keadilan. Sedangkan pada gerakan nirkekerasan, target didefinisikan dengan rinci: kapan, di mana dan siapa saja yang menjadi “musuh” dan bagaimana melawannya. Chaiwat menggenapi judulnya dengan esai yang tidak memberikan gambaran utuh bagaimana apabila terorisme bertransformasi menjadi gerakan nirkekerasan, namun ia memberikan kita rasionalitas yang memungkinkan perubahan itu terjadi.

Bbagaimanapun, untuk mengonstruksi bagaimana transformasi itu terjadi. Salah satunya barangkali dengan mempertimbangkan usulan Benedetta Berti untuk melihat kelompok terorisme lebih dari sekadar tukang angkat senjata. Pada kasus PFLP, partai komunis di Palestina yang dikenal dari aksi-aksi pembajakan pesawat pada tahun 1960-an hingga 1970-an, meskipun mereka masih menggunakan taktik kekerasan dalam bentuk asasinasi tokoh politik Israel, partai ini pula yang gigih mengupayakan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas, masing-masing merupakan penguasa Tepi Barat dan Gaza dan melakukan penindasan anggota musuhnya.

Teladan dari orang-orang yang kemudian memilih jalan nirkekerasan setelah sebelumnya menggunakan senjata dalam perlawanan menghadapi penindasan dapat kita temui di berbagai belahan dunia, begitupun sebaliknya, sebagaimana dicontohkan Chaiwat saat mengisahkan HSRA. Dengan pembacaan yang baik, semestinya, pertanyaan bagaimana terorisme diubah menjadi nirkekerasan tidak begitu susah dijawab. Atau, tidak berat untuk mulai diupayakan. (Pradewi TC).

No More Posts Available.

No more pages to load.