Eksistensi Agama Dalam NKRI Menjadi Pemersatu

oleh

download (4)

Batamraya.com – Fakta sejarah bangsa menunjukkan bahwa NKRI didirikan oleh proklamator dan para pejuang kemerdekaan yang semuanya penganut agama, terutama muslim, bukan ateis apalagi komunis. Rumusan Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai dasar bernegara dan ideologi bangsa jelas mencerminkan ajaran agama dalam semua silanya.

Karena tidak ada agama yang anti ketuhanan yang mahaesa. Tidak ada agama yang menolak kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada agama yang diakui di Republik ini yang menganjurkan disintegrasi bangsa Indonesia. Tidak ada agama yang tidak menyuarakan spirit kerakyatan. Dan, tidak ada agama yang anti keadilan sosial.

Dengan demikian, sinergitas relasi agama dan politik, agama dan negara, kekuasaan dan keberagamaan adalah sebuah keniscayaan sekaligus merupakan bentuk simbiosis mutualisme yang saling mengisi, memaknai, mengayomi, dan memandu orientasi masa depan bangsa. Meskipun NKRI bukan negara agama  tertentu dan juga bukan negara sekuler, tapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan beragama lainnya yang diakui oleh negara.

Jadi, eksistensi agama dalam NKRI dalam sejarah panjang bangsa ini merupakan faktor pemersatu (uniting factor), perekat integrasi umat dan bangsa. Kalaupun ada percikan ”api pertikaian” antarwarga bangsa, maka boleh jadi diakibatkan oleh provokasi pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mengail keuntungan di air keruh.

Keduanya saling mengisi dan berbagi fungsi. Agama hadir untuk mengawal dan menjaga politik dari aneka penyimpangan dan penyelewengan karena syahwat politik dan kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara, sedangkan politik diperlukan untuk memfasilitasi ekspresi dan aktualisasi kehidupan beragama para penganutnya.

Oleh karena itu, pemisahan agama dari politik atau pemisahan politik dari agama bagi warga bangsa ini merupakan pemikiran sekuler yang bebas nilai. Politik dan agama dapat juga diibaratkan seperti sepasang sandal atau sepatu (kanan dan kiri).

Masing-masing dapat memainkan peran dan fungsinya secara harmoni, saling mengisi, dan melengkapi secara proporsional; tidak saling konfrontasi dan tidak dalam relasi antagonistis dan kontraproduktif. Jika salah satu dipisahkan, maka jalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini akan pincang. Kiblat bangsa dan negara ini bisa salah arah, menjadi negara sekuler, liberal, tidak Pancasilais, dan jauh dari keberkahan Ilahi.

Kalaupun dalam proses politik seperti pilpres dan pilkada terjadi dinamika sosial-politik dengan tensi yang tinggi dan cenderung memanas, maka sesungguhnya bukan agama atau politik yang harus dipisahkan.”Gesekan, intrik, atau perang” jargon agama dalam proses politik harus disikapi secara arif bijaksana.

Masing-masing pihak yang berkontestasi harus mampu menahan diri untuk tidak ”memperalat atau menjadikan” agama sebagai pembenar agenda politiknya, apalagi digunakan secara membabi buta dan praktik politik kotor.

Hawa nafsu atau syahwat berkuasa hendaknya tidak ”memerkosa” agama hanya untuk kepentingan politik sesaat. Agama harus diposisikan sebagai penerang, pencerah, dan pemandu jalannya perpolitikan yang santun, elegan, dan berakhlak mulia.

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.